Aluna ….

sepatu

Terbanglah seperti burung lepas..
kepakkan sayap indah seperti angsa menari disana..
Karena impian..
bukanlah sebuah impian ketika tubuhmu bergerak…

            Kedua tirai merah pun melintang seiring dengan riuhnya tepuk tangan dari audiens yang melihat pertunjukan ballet hari ini, sebuah impian besar yang sangat aku dambakan sejak lama. Oh tuhan, mampukah aku menari dengan indah seperti angsa putih yang menari disana? Lamunanku semakin menjadi-jadi ketika aku membayangkan betapa indahnya gaun putih yang akan kukenakan, juga dengan sorotan lampu yang mengiringi setiap gerakan demi gerakan yang akan memukau setiap mata yang memandangku malam itu. Aku menari, menari sepanjang malam melangkahkan kaki kesana-kemari. Berlarian dan mengayunkan tangan seperti seekor angsa yang sedang menari. Tapi lamunan indahku hilang seperti ilusi semata ketika seseorang memanggil namaku. ‘ Aluna..! ayo kita pulang, hari sudah larut malam‘ aku berusaha mencari sumber suara itu, ternyata Dennis yang memanggilku. Anak itu, anak yang selalu memakai topi dan juga senang memakan apel merah itu adalah teman yang paling setia. Kami dibesarkan di panti asuhan, karena nasib kami yang benar-benar malang. Setiap anak yang berada disana dibesarkan dengan penuh kasih sayang oleh Ibu Jose, dia seorang malaikat yang penuh dengan cinta dan juga seorang pemilik senyuman yang indah. Tangan lembutnya yang telah membesarkanku hingga sebesar ini, begitu juga dengan Dennis. Aku berlari menghampiri Dennis, Ibu Jose pasti sangat khawatir dengan kami berdua, dengan segera kami berdua pulang ke rumah.
Dennis sangat ahli dalam memanjat pohon, kamar kami ada di lantai dua, Dennis pergi memanjat pohon untuk masuk kedalam kamar, sedangkan aku tak mungkin mengikuti jejak Dennis karena aku tak mahir dalam hal itu. Dengan perasaan sedikit takut aku berjalan perlahan mencoba meraih tangan pintu yang sebentar lagi kusentuh. Tapi, pintu terbuka dengan cepat dan seorang wanita bertubuh subur sudah berdiri dengan tatapan tajam tertuju padaku. Ya, itulah Ibu Rena yang biasa membantu Ibu Jose untuk mengasuh anak-anak panti. Aku terkejut dan tertunduk takut setelah melihatnya, Ibu Rena mengangkat daguku searah dengan tatapannya dan mulai sedikit berbicara ‘ apa kau pergi melihat para penari-penari itu??’. Rasanya lidahku kelu untuk menjawab pertanyaannya, jantungku mulai berdebar kencang, sepertinya aku tidak aman malam ini. Apa aku akan diberi hukuman? Atau tidak sama sekali? Semua pertanyaan yang timbul menumpuk dan bergumpal menjadi satu dalam hati. Belum sempat aku menjawab, suara langkah terdengar dari arah belakang Ibu Rena dan itu Ibu Jose dengan membawa lilin ditangannya mencoba menerangi wajahku yang mulai berkeringat.

“ Owhh.. kaukah itu Aluna ..? “. ucap Ibu Jose sambil membenarkan kacamatanya.

“ Ten..tentu Ibu, ini aku..Aluna..”. jawabku gugup.

“Sepertinya anak nakal ini pergi melihat pertunjukkan di gedung yang megah itu nyonya “. Sela Ibu Rena kepada Ibu Jose.

“ Betulkah itu Aluna? Kau pergi lagi ketempat itu? “. Tanya Ibu Jose.

“Ma..maafkan aku Ibu.. aku hanya ingin melihat para penari itu, aku ingin seperti mereka”. Jawabku.

“Berhentilah bermimpi Aluna, kita ini hanya orang biasa, mana mungkin kau bisa berada di tempat para anak bangsawan itu. Lagipula kita tidak punya cukup uang untuk menyekolahkanmu kesana.” Ucap Ibu Rena.

“Sudahlah..ayo..kembali ke kamarmu dan beristirahatlah nak”. Ucap Ibu Jose sambil memegang bahuku.

“Baik Ibu, selamat malam..”. ucapku kepada Ibu Jose.

“Selamat malam nak, semoga mimpimu indah malam ini”. Jawab Ibu Jose.

Senyuman itu, selalu dapat membuatku merasa tenang dan nyaman. Aku berjalan menuju kamarku, membuka pintu dengan sangat pelan karena takut membangunkan adik-adikku yang sedang tertidur lelap. Aku memandangi wajah mereka satu persatu hingga si kecil Edward, aku mencium keningnya mengucapkan selamat malam sebelum aku meniup lilin yang ku pegang dan pergi ketempat tidurku sendiri. Aku berbaring dan menarik selimut hingga menutupi kedua bahuku, sedikit membayangkan hal yang baru saja kulewati hari ini sebelum aku memejamkan mata, semua terasa indah saat membayangkan bagaimana kaki ini mampu berpijak diatas lantai kayu yang mengkilap itu, dan menari berputar mengikuti alunan lagu yang mengiringi setiap gerakan tubuhku. Semua hayalan pun melebur menjadi satu saat mataku terpejam dan berubah menjadi hayalan nyata dalam mimpi indahku malam ini.
Kicauan burung mulai terdengar, cahaya mentari yang menyusup dari balik kaca jendela berhasil membangunkanku pagi ini. Kecupan manis mendarat di pipi kananku, si kecil Edward sudah memandangiku sejak tadi. Suaranya yang sangat khas tak mungkin aku lupakan. Setiap pagi yang selalu menyapaku terlebih dulu adalah Edward, aku membuka mata dan melihat wajah mungilnya sambil mengucapkan selamat pagi padanya, tapi seperti biasa Edward tidak pernah mengatakan apapun selain senyuman yang keluar dari kedua bibirnya. Aku bangun dari tempat tidurku dan membereskan tempat tidurku, lalu kubisikkan kepadanya bahwa aku akan segera turun kebawah setelah aku selesai membersihkan diriku. Edward mengerti apa yang aku ucapkan dan berlari menuju meja makan. Setelah semua beres aku berdiri di depan kaca, menyisir rambut hitam panjangku dan membiarkannya tergerai indah. Dileherku, tergantung sebuah liontin berwarna biru. Ibu Jose pernah berkata bahwa liontin ini adalah milik ibuku, tapi aku tak pernah tau seperti apa wajahnya atau bagaimana pribadinya, karena setiap pertanyaan selalu mereka jawab dengan senyuman.
Aku turun menuju ruang makan, Dennis membantu Ibu Rena membagikan makanan kepada anak-anak yang lain. Aku duduk disebelah Jessie, ia nampak kesulitan untuk mengancingkan kancing bajunya. Aku berbisik perlahan menawarkan pertolongan kepadanya, Jessie mengangguk dan sedikit membelakangiku utnuk menujukkan kancing bajunya yang belum terkancing. Suara gaduh masih terdengar ditelingaku, suara teriakan anak-anak yang sudah tak sabar ingin mendapatkan jatah makanan mereka pagi ini. Keceriaan yang dimulai setiap pagi dengan suasana yang ramai nampaknya mampu membuat Ibu Jose tersenyum geli karena ulah anak-anaknya. Ada yang merengek, ada yang berebut makanan, ada yang menarik-narik baju Dennis, ada yang tertawa,  dan ada pula yang hanya diam tersenyum melihat keadaan sekitar.

“Ini untukmu Aluna”. Ucap Dennis sambil memberikan makanan.

“Terimakasih…”.Ucapku sambil tersenyum.

“Baik anak-anak ayo diammm…”.teriak Ibu Rena.

Serentak semua pun terasa hening, Ibu Jose memimpin do’a sebelum kami mulai memakan makanan kami semua. Walaupun hanya makanan sederhana, tapi kami semua bersyukur masih bisa mendapatkannya. Setelah semua selesai beberapa anak pergi keluar rumah, ada yang merengek kepada Ibu Jose, dan ada pula yang sibuk belajar membaca buku bersama Ibu Rena. Aku merapikan piring-piring yang kotor dan membersihkannya, sedangkan Dennis bertugas menyapu rumah hingga halaman depan. Imajinasiku terulang saat aku melihat piring-piring ini, senandung kecil keluar dari bibirku. Kulangkahkan kaki kesana kemari mengikuti senandung lagu kecil yang kunyanyikan hingga semua piring tercuci dengan bersih dan tertata rapi di tempatnya. Langkahku terhenti karena tepuk tangan Dennis. Ia mengejutkanku, Dennis datang menghampiriku dan mengajakku untuk pergi bersamanya. Aku bertanya kemana kami akan pergi, tapi ia tak menjawabnya.
Aku mengikuti kemana kaki Dennis melangkah, banyak orang yang kami temui hari ini. Aku senang melihat keramaian, paman Jannet memanggil kami berdua dengan melambaikan kedua tangannya. Dennis menarik tanganku dan berlari menghampiri paman Jannet. Paman Jannet memberi kami berdua dua buah apel merah yang segar, dan ia berkata bahwa mulai hari ini ada sekelompok penari ballet yang berlatih di aula besar untuk sebuah pertunjukkan hebat nanti. Tentunya ia tau bahwa aku senang menari, mungkin Dennis ingin memberiku sedikit kejutan sehingga ia tak memberitahuku  kemana ia akan membawaku. Tentu saja aku sangat senang mendengar kabar ini, dengan segera kami berdua pergi menuju aula besar. Dari koridor aula sudah terdengar suara dentingan piano, aku berjalan perlahan diantara jendela-jendela besar bernuansa eropa itu melihat para ballerina berlatih. Kedua mataku seolah terpaku pada sosok gadis yang sedang dikelilingin oleh ballerina lainnya hingga langkahku terhenti. Aku bahkan tak berkedip sedikitpun sampai Dennis mengagetkanku dnegan tepukan yang mendarat di bahuku.

“Berlatihlah sesuai dengan keinginanmu, ikuti gerakan mereka”. Ucap Dennis.

“Disini …??”. tanyaku kepadanya.

“Ya, tentu..ayolah Aluna, menarilah seperti mereka. Aku akan melihatmu dari sini”. Ucap Dennis.

“Baik.., lihat ini..”. ucapku pada Dennis.

“Kau yang terbaik Aluna..”. Ucap Dennis sambil memakan apelnya.

Aku melangkahkahkan kaki mengikuti irama lagu, mengangkat tanganku dan berjalan dengan kedua ujung kakiku. Aku mengikuti setiap gerakan yang dilakukan oleh para ballerina itu. Aku berlatih hingga senja datang menjemput kami sore ini, dentingan piano sudah tak terdengar lagi, beberapa gadis penari itu sudah mulai keluar aula dan pulang ke rumah mereka masing-masing. Dennis memberi isyarat kepadaku agar segera pulang, aku juga tak mungkin memaksakan diri untuk tetap berada di aula ini. Aku mengangguk dan kami berdua pun pulang ke rumah.

“Terimakasih sudah membawaku ke aula itu”. Ucapku kepada Dennis.

“Yupss… dengan senang hati nona..”. Ucap Dennis menggoda.

“Ayo kita datang lagi besok…! mau kan..?”. Pintaku kepada Dennis.

“Tentu.. ayo, kita pulang”. Ucap Dennis sambil tersenyum.

Kami pun berlarian saling mengejar satu sama lain, senja yang indah dan hari yang hebat untuk kulewati bersama Dennis. Canda tawa lepas menari di udara, kami melewati taman bunga yang begitu cantik. Dennis memberikanku beberapa tangkai untuk kami bawa pulang ke rumah. Jauh sebelum kami berdua sampai ke rumah, kami melihat ada dua orang berpakaian hitam yang keluar dari dalam rumah kami. Dennis mencegahku untuk melangkah, kami memperhatikan kedua orang itu dari balik semak-semak. Ibu Jose terlihat tidak baik disana, Ibu Rena masih memegangi tubuh Ibu Jose. Aku jadi sedikit cemas, mungkin sesuatu yang buruk sedang menimpa mereka sekarang. Dennis menggenggam tanganku dan membawaku masuk kedalam rumah melewati pintu belakang. Hatiku semakin bertanya-tanya setelah aku melihat adik-adikku yang ketakutan berdiri dan saling memegangi satu sama lain.

“Ibu apa yang sudah terjadi disini? Siapa orang itu?”. Tanyaku kepada Ibu Jose.

“Tidak ada yang terjadi disini nak, hanya mereka para penagih hutang”. Jawab Ibu Jose.

“Benarkah Ibu? Jangan membohongiku bu..”. Ucapku.

“Tidak ada apa-apa Aluna, tidak ada yang terjadi di rumah ini. Pergilah, bersihkan dirimu”. Jawab Ibu Rena.

“Tapi.., mengapa mereka semua ketakutan bu..? aku sangat khawatir. Apa kita harus pindah tempat lagi??”. Tanyaku kepada Ibu Rena.

“Tidak Aluna.., kita tidak akan pindah lagi, pergilah..”. Pinta Ibu Rena.

“Baik Ibu..”. Jawabku.

Aku pergi untuk membersihkan tubuhku, Ibu Rena membawa anak-anak yang lain menuju kamar. Sedangkan Dennis mengantarkan Ibu Jose kembali ke ruangannya. Entah apa yang sedang mereka sembunyikan dariku, aku mencium sedikit keganjalan di rumah ini. Aku menyandarkan tubuhku di dalam bak mandi, merasakan air yang membasahi tubuhku. Menghilangkan kelelahan setelah seharian ini beraktifitas. Aku mengangkat liontin berwarna biru dengan tangan kananku, terdapat sebuah tulisan di dalamnya. Sebuah ukiran cantik bertuliskan namaku disana, aku memperhatikan liontin ini sambil terus bersandar di dalam bak mandi hingga muncul semua pertanyaan yang harus kuselidiki dan sudah saatnya aku tau apa sebenarnya terjadi.
Di depan tungku perapian Ibu Jose duduk sambil memegang tangan Dennis, ia sedikit mengisahkan sebuah kisah tentang seorang gadis ballerina terkenal yang berparas cantik dan sangat dikagumi oleh semua pria yang tinggal disana. Kepiawaiannya dalam menari sudah sampai terdengar ke penjuru negeri. Hingga pada suatu hari datanglah seorang pria berkebangsaan Inggris yang ingin melihat tarian indah dari seorang gadis berparas cantik itu. Di dalam gedung pertunjukkan itu ia melihat seorang ballerina yang tengah berdiri bersiap menari mengikuti suara musik yang mengalun indah. Ia terpana oleh gerakan sang ballerina, sehingga ia menetap tinggal disini hanya untuk melihat setiap pertunjukkan yang diberikan oleh sang ballerina. Karena merasa sangat tertarik, ia mencoba mencari tau lebih dalam tentang gadis berparas cantik itu. Beruntung, seorang penjual buah memberitahunya tentang kediaman orang yang dicarinya. Dengan sebuah kertas kecil di tangannya, ia mencari alamat yang dituju hingga kedua kakinya berpijak di sebuah desa kecil dekat bukit. Saat kakinya berpijak di sebuah desa, ia melihat seorang gadis yang sedang menari di sebuah tempat terbuka yang cukup lumayan besar.
Sepertinya dewi fortuna memberikan keberuntungan lebih kepadanya, sehingga mereka dipertemukan di sana. Gadis itu terkejut oleh kedatangan seorang pria tampan yang sedari tadi berdiri melihatnya berlatih menari. Dengan perlahan ia berjalan mendekat dan memperkenalkan diri, ia menyebut namanya ‘Christopher Vallen’. Dengan wajah yang tersipu malu gadis itu pun memperkenalkan dirinya.

“Ibu.., siapa nama gadis itu?”. Tanya Dennis penasaran.

“Gadis itu bernama Alena Van”. Jawab Ibu Jose.

“Lalu, bagaimana kelanjutan kisahnya?”. Tanya Dennis kembali.

Ibu Jose tersenyum dan melanjutkan ceritanya. Setelah mereka saling memperkenalkan diri, mereka pun sering melewatkan waktu bersama, bahkan Christopher sering merangkaikan bunga mawar untuk Alena dan menemaninya berlatih ballet untuk pertunjukkan. Tanpa pernah Alena sadari bahwa Crishtopher jatuh hati padanya sejak pertama melihatnya, mereka berdua pun akhirnya saling jatuh cinta dan berniat untuk melangsungkan pernikahan mewah di kota ini. Tapi, cobaan besar menimpa mereka berdua. Kabar pernikahan itu sampai ke telinga orang tua Christopher. Mereka mengirimkan beberapa orang untuk menjemput paksa Christopher pulang, karena mereka berdua tau hubungan mereka sedang terancam, maka mereka berdua memutuskan untuk pergi meninggalkan desa itu dan menetap di suatu tempat yang tidak diketahui oleh orang banyak.
Kehidupan mereka sangat bahagia setelah mereka berhasil menikah. Bahkan semuanya terasa lengkap ketika Alena dinyatakan sedang mengandung anak mereka. Buah hati yang mereka nantikan semenjak pernikahan mereka berlangsung. Suatu hari, saat hujan badai datang dan pada saat itulah waktunya Alena melahirkan, keberadaan mereka diketahui oleh utusan orangtua Christopher yang selama bertahun-tahun mencarinya. Christopher yang sedang pergi, dan mengetahui kabar itu langsung segera pulang dan berniat membawa Alena keluar dari rumah mereka, suasana berubah menjadi sangat menegangkan ketika perjalanan mereka sempat terhalang oleh hujan badai yang besar itu. Tetapi mereka berhasil pergi meninggalkan rumah itu dan menuju suatu kota dimana tempat seorang wanita tinggal. Wanita itu adalah sahabat yang pernah berjuang bersama dengan Alena dalam sebuah teater, namun ia berhenti karena kakinya mengalami cedera hebat dan tak mampu untuk menari lagi. Mereka berdua berhasil selamat dari ancaman hujan badai itu juga orang-orang yang sedang memburu mereka selama bertahun-tahun. Mereka berdua mendatangi sebuah rumah tua yang tidak terlalu besar. Ketika wanita itu membuka pintu, betapa terkejutnya ia melihat kedatangan Alena dan Christopher dengan tubuh yang basah kuyup, mereka kedinginan dan wanita itu melihat betapa merintihnya Alena karena sudah saatnya untuk melahirkan. Dengan segera wanita itu membantu proses persalinan Alena, Christopher dengan sabar menemani Alena yang terus berjuang antara hidup dan mati. Masa-masa sulit mampu Alena lewati, lahirlah seorang bayi yang sangat cantik menangis di pangkuan wanita itu. Terlihat raut wajah Christopher yang sangat bahagia atas kelahiran putri pertama mereka, wanita itu memberikan bayi mereka. Alena tersenyum bahagia, tak hentinya ia mencium bayi mungil itu. Mereka adalah keluarga yang bahagia jika saja mereka masih bersama hingga kini, setelah membiarkan mereka bertiga merasakan beberapa saat kebahagiaan sebelum Alena pergi, Alena mengucapkan rasa terimakasihnya kepada wanita itu. Christopher memberikan sebuah liontin berwarna biru, di dalamnya terukir sebuah nama untuk anak mereka berdua. Mungkin karena Alena merasakan waktunya takkan lama lagi, ia memintaku untuk berbicara empat mata di dalam kamar itu. Christopher menggendong bayinya, menghangatkan anaknya dekat perapian. Sedangkan kami berdua bersama di dalam kamar yang sunyi, sebuah kamar yang menjadi saksi hidup seorang ballerina cantik yang terkenal. Dennis memperhatikan Ibu Jose dengan wajah serius, Ibu Jose tetap menggenggam tangan Dennis dan sesekali membelai kepala Dennis lalu kembali melanjutkan cerita yang sangat berkesan itu. Alena meminta wanita itu untuk merawat putrinya yang masih sangat kecil, ia meminta supaya anaknya dibesarkan dengan penuh kasih sayang seperti anak kandungnya sendiri. Karena merasa iba wanita itu pun menyetujui permintaan Alena. Tapi yang sangat mengejutkan, ketika Christopher datang membawa bayi kecilnya menghampiri Alena, saat itulah Alena melihat putrinya untuk yang terakhir kali karena pendarahan hebat yang dialami Alena akhirnya ia menghembuskan nafas yang terakhir. Suasana berubah menjadi sangat mengharukan, penuh duka dan rasa kehilangan bagi wanita itu dan juga bagi Christopher tentunya. Diletakkannya bayi mereka disamping Alena, dipeluknya mereka berdua sambil menahan tangis yang tak hentinya keluar dari pelupuk mata Christopher. Pemakaman pun dilaksanakan keesokan harinya, berat rasanya kehilangan seseorang yang sangat dicintai dan sayangi. Belum lagi setelah ditinggal kepergian Alena, Christopher menjadi sangat terpukul.
Christopher selalu mendatangi makam Alena dan memberikannya rangkaian bunga mawar sama seperti yang ia lakukan dulu sewaktu mereka masih bersama. Suatu hari, Christopher membawa putrinya pergi dari rumah wanita itu. Setelah beberapa hari mereka pergi dan tak terdengar lagi, wanita itu pergi membeli beberapa sayuran untuk dimasak. Dan saat itulah ia mendengar bahwa ada seorang pria yang hampir saja terbunuh di dekat tebing jurang sambil membawa seorang bayi. Sempat kaget wanita itu merasa bahwa orang yang sedang dibicarakan itu adalah Christopher dan putrinya, langsung saja ia mencari tau keberadaan Christopher dan mencarinya. Setelah beberapa hari mencari namun tak juga mendapatkan hasil, ia tetap kesulitan utnuk mendapatkan jejak Christopher dan juga putrinya. Bulan terang benderang, ia berharap Christopher dan putrinya akan baik-baik saja diluaran sana, ia melamun di atas meja memandangi ke arah luar jendela dan tertidur dengan nyenyaknya. Suara ketukan pintu yang keras membangunkan tidurnya, wanita itu membuka pintu dan ia melihat Christopher juga putrinya datang dalam keadaan selamat, hanya saja Christopher megalami luka yang sangat parah pada kaki kirinya. Karena luka yang sangat parah itu, Christopher meminta wanita itu membawa anaknya pergi dan merawatnya karena ia tak sanggup untuk merawatnya lagi. Diserahkannya bayi mungil yang sedang tertidur pulas kedalam pangkuan wanita itu sambil meminta permohonan yang terakhir kepadanya untuk dimakamkan disamping makam Alena, ia juga berpesan jangan sampai bayi ini jatuh ketangan keluarganya karena ia takut bayi ini diperlakukan dengan tidak baik disana.    Christopher menghembuskan nafas yang terakhir setelah mencium putrinya,isak tangis yang mengiringi kematian Christopher malam itu membuat wanita itu bersumpah pada dirinya sendiri akan merawat bayi malang yang sedang berada di pangkuannya sekarang dan ia akan menutupi identitas keluarganya. Raut wajah Dennis berubah seketika saat melihat air mata yang jatuh membasahi pipi Ibu Jose.

“Ibu.., mengapa Ibu menangis? Lalu siapa wanita itu? Dan mungkinkah bayi itu..?”. Tanya Dennis.

“Ya..Dennis..wanita itu adalah aku, dan bayi malang itu adalah Aluna”. Ucapnya sambil menahan tangis.

“Aluna Van Vallen.., itu nama asli dari orang yang selama ini bersamamu nak”. Ucap Ibu Jose.

“Ja..jadi.. Aluna.. putri kandung mereka? Jadi ini alasan Ibu agar aku selalu menjaga Aluna, dan menemaninya kemanapun ia pergi?”. Tanya Dennis.

“Ya..putraku.., aku sengaja mengganti namanya menjadi Aluna Jensen. Aku mengganti namanya denga namaku karena aku tak ingin sesuatu hal yang buruk menimpanya kelak”. Ucap Ibu Jose.

“Aku takkan membiarkannya bu..Ibu tenang saja”. Ucap Dennis mengecup kening Ibu Jose.

“Tentu putraku..Ibu sangat percaya padamu”. Ucap Ibu Jose memandangi wajah Dennis.

Dennis pun menceritakan kemana sebenarnya mereka pergi, dan setelah Ibu Jose mengetahui hal itu, ia beranjak dari tempat duduknya dan mengambil suatu kotak berukuran sedang dan kembali duduk di kursinya dekat perapian. Dennis yang penasaran akan hal itu menanyakan apa isi dari kotak itu, tapi Ibu Jose hanya tersenyum dan memberikan kotak itu padanya. Ia berpesan agar kotak ini kelak diberikan kepada Aluna pada saat yang tepat, karena isinya merupakan pakaian dan sepatu ballet yang pernah dimiliki oleh ballerina ternama di negeri ini.
Denis bergumam menyebutkan betapa indahnya baju itu jika dikenakan olehku. Ia kembali menyimpannya ke dalam kotak dan menutupnya, lalu berpamitan untuk pergi melihatku. Ibu Jose tersenyum dan membelai wajahnya lagi, sebuah kecupan dan pelukan diberikan kepada Dennis sebelum semuanya berkumpul di meja makan untuk makan malam. Setelah semuanya rapi, Dennis menghampiriku yang sedang melamun di depan jendela kamar. Ia menepuk bahuku dan mengajakku turun menuju meja makan. Semua pun berkumpul seperti biasa, Ibu Rena memberikan masing-masing anak makanan. Mereka pun memakan makan malamnya tanpa suara gaduh hingga makan malam selesai. Dennis memperhatikanku lewat tatapan matanya yang semakin tajam, ia berkata apa yang sedang kurasakan, apa aku sedang sakit atau tidak. Tampaknya malam ini sesuatu telah menggangu fikiranku sehingga aku terus melamun sedari tadi dan membuat orang di selalu berkata ‘ada apa denganmu?’. Aku tersenyum dan berkata bahwa ‘aku baik-baik saja, tak ada yang perlu dikhawatirkan’. Dennis mengangguk dan memberiku sebuah apel merah, lalu memberi isyarat untuk pergi ke atap rumah. Menurutnya malam ini cukup indah, aku memakan apel pemberian Dennis sambil memandangi langit dari kejauhan sana. Dennis nampaknya begitu tenang malam ini, entah apa yang dia rasa tapi aku merasa sangat nyaman berada disisinya malam ini. Aku memandangi senyuman yang terpancar dari raut wajahnya, ia menoleh ke arahku dan bertanya apa aku mau mendengrakan sebuah kisah cinta indah yang abadi hingga akhir hayat. Aku mengangguk sambil menikmati setiap gigitan apel yang kumakan. Dennis memandang langit dan juga bintang-bintang yang berkerlap-kerlip di atas sana, perlahan dan pasti ia mulai menceritakan sebuah kisah yang menarik untuk didengarkan. Kupeluk kedua kakiku sambil memperhatikan Dennis yang sedang bercerita, sebuah kisah yang sangat mengharukan dan romantis tetapi juga tragis bagi kelangsungan anak dari cerita yang Dennis kisahkan padaku. Bintang dilangit semakin terang, hari sudah semakin larut. Bersamaan dengan certa Dennis yang hampir selesai, aku pun mengantuk dan mulai memeluk erat kedua lututku ini dengan kepala yang tersandar diantara dinding. ‘kisah yang indah Dennis, terimakasih sudah menghiburku’. Ucapku kepada Dennis. Ia tersenyum dan mengantarkanku ke kamar, aku mendegar Dennis mengucapkan selamat malam dan aku pun tertidur dengan cepat.
Mentari datang menyambut sang pagi, aku membuka jendela kamar dan menghirup udara segar pagi ini. Seperti biasanya, aktifitas selalu dimulai sejak pagi hari. Suara sapu terdengar dari arah halaman depan, si kecil Edward mencoba membantu Dennis yang sedang membersihkan daun-daun kering yang berjatuhan di tanah. Dua anak lainnya berlarian diantara tumpukan daun kering, aku masih memperhatikan mereka yang sedang asik berada diluar sana. Aku merapikan kamar, dan mencuci semua pakaian mereka lalu menjemurnya di belakang rumah. Semua pekerjaan selesai dan aku sama sekali belum melihat Ibu Jose juga Ibu Rena pagi ini, semua anak sudah siap berada di meja makan menanti sarapan pagi yang lezat. Aku dan Dennis merapikan meja, membagikan makanan kepada mereka. Aku berbisik kepada Joni kemana Ibu Jose dan Ibu Rena, ia masih saja sibuk dengan bukunya yang tebal lalu menutup bukunya dan berkata ia tidak tahu sambil menggelengkan kepala. Aku duduk disamping Dennis menghabiskan makananku lalu setelah itu membersihkan piring yang berserakan dan juga merapikan meja. Semua hampir selesai kubereskan, aku mendengar gelak tawa dari dalam rumah. Semua berteriak memanggil nama Dennis, sepertinya sedang ada pesta kecil disana sehingga sedikit membuatku penasaran kesenangan seperti apa yang sedang Dennis buat.
Aku melangkah perlahan melihat mereka semua dari balik dinding, musik instrumen mengalun pelan. Ia memutar tombol volume ke kanan. Kini suara dentingan piano yang beradu dengan petikan dawal gitar terdengar lebih jelas. Ia tersenyum. Musik. Mesin waktu yang paling sederhana. “Dansa?”. Ucap Dennis kepadaku. Semua anak memperhatikanku, aku tersipu malu dan menggelengkan kepala. Tetapi mereka merajuk dan memaksaku untuk ikut berdansa bersama mereka. Dennis mengulurkan tangan, aku meraihnya. Ia menarikku kedalam pelukannya dan melangkah bersama mengikuti alunan dansa. Aku tak tahu apa yang kurasa saat itu, aku benar-benar sangat gugup dan ini merupakan untuk pertama kalinya aku berdansa dengan Dennis. Kami dan juga yang lainnya berdansa berputar hingga semua terhenti dengan kedatangan Ibu Jose dan Ibu Rena yang berdiri di depan kami semua dan bertepuk tangan.
Semua tertawa bahagia, Dennis menghentikan musiknya dan mereka semua pun pergi. Dennis mengajakku untuk pergi ke aula besar hari ini, aku hampir saja melupakannya. Dengan segera kami pergi kesana, kami melewati taman bunga dan juga sungai kecil yang indah. Ia menarik tanganku dan membuatkanku sebuah mahkota  bunga yang sangat cantik.

“Untukmu nona..”. Ucap Dennis sambil meletakkannya di atas kepalaku.

“Terimakasih..mahkota yang indah Dennis”. Ucapku kepada Dennis.

“Dan ini bunga yang cantik, untuk nona yang sangat cantik”. Ucap Dennis sambil tersenyum.

Aku tertunduk malu dan mengambil sekuntum bunga itu. Kami saling bertatapan dan saling melemparkan senyuman. ‘Kau pria yang sangat baik’. Ucapku dalam hati. Aku menarik tangan Dennis dan pergi menuju aula besar untuk berlatih disana, beruntung kami tidak terlambat sama sekali. Suara pelatih mulai terdengar, aku melihat dari balik jendela kaca seperti biasanya. Hitungan dimulai dan dentingan piano pun terdengar, aku mengikuti gerakan demi gerakan tapi tunggu, semua berhenti seketika saat seseorang datang dan memberikan sepucuk surat kepada pelatih. Wajahnya tampak resah, aku memperhatikan dan mencoba membaca sesuatu yang telah terjadi disana. Dennis mendekatiku dan ikut melihat apa yang telah terjadi disana. Seseorang tidak berada disana, ya.., dia gadis yang berada di tengah-tengah mereka sebagai peran utama. Ia tak datang, suara gaduh pun mulai terdengar, salah satu dari mereka kemana gadis itu pergi. Dengan wajah yang sangat lesu ia menjawab dengan tegas bahwa gadis itu mengalami kecelakaan pada kakinya sehingga ia tak dapat menari. Semua panik dan terkejut mendengar kabar yang buruk bagi tim mereka, sepertinya pelatih harus menyeleksi lagi seorang penari untuk menjadi peran utama.
Dennis tersenyum lebar padaku, ia berkata mungkin aku memiliki satu kesempatan untuk mendapatkan tempat itu, karena pelatih akan membuka audisi bagi siapapun yang memiliki kemampuan menari ballet untuk mengikuti audisi itu. Ini impian setiap gadis yang berada di sini untuk dapat bergabung menjadi seorang ballerina terhebat dari ballerina terhebat yang telah terseleksi untuk masuk menjadi anggota klub ballet itu. Jika memang aku diberi kesempatan maka aku akan mencobanya. Sementara waktu semua latihan pun dihentikan dan mereka semua terduduk lemas dan juga terlihat sedikit resah karena hal ini.

bersambung…

Tinggalkan komentar